/hihi
Gunung Slamet atau disebut dalam sastra kuno dengan sebutan Gunung Agung memiliki ketinggian 3.428 mDpl. Gunung Slamet menjadi puncak tertinggi di Jawa Tengah dan kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru. Gunung ini merupakan salah satu gunung Stratovolcano di Indonesia. Jalur pendakian pada Gunung Slamet tergolong cukup terjal dan jarang ditemukan air, jika ada itu merupakan rembesan atau genangan saja. Terdapat 4 kawah di puncak dan semuanya aktif mengeluarkan uap belerang.
Setelah menyelesaikan pendakian Ceremai 2 tahun yang lalu sebagai tertinggi Jawa Barat, tertinggi Jawa Timur yaitu Semeru di Juli 2011 kemarin dan akhirnya saya bisa mendaki puncak tertinggi di Jawa Tengah di akhir November ini. Masih banyak gunung yang ingin Saya daki dan Gunung Slamet bisa menjadi pembukaan untuk pendakian selanjutnya di gunung Jawa Tengah.
lanskap kawah |
Saya mendaki melalui Desa Guci, Kabupaten Tegal, bersama 12 teman dari berbagai kota. Jalur desa Guci bukan merupakan jalur resmi pendakian tapi konon jalur ini lebih indah karena hutannya masih rapat dan terdapat mata air di pos 4 dan pos 6 (Plawangan). Kekurangannya adalah pendaki yang ingin mencapai puncak sejati (Segoro Wedi) harus memutar kawah terlebih dahulu. Ada jalur tidak resmi lain yaitu Kaligua Kabupaten Bumiayu tapi lebih sulit dan bercabang. Jadi, jika yang ingin menikmati tantangan yang lebih bisa lewat jalur guci dan jika ingin mencapai puncak sejati lebih cepat silakan lewat jalur resmi Bambangan Kaliwadas atau jalur Baturaden.
Berangkat dari Stasiun Jakarta Kota tepat pukul 15.00 menggunakan KA Tegal Arum bersama Hendri dan Teguh kemudian bertemu dengan Yangga di Stasiun Sikampek. Kami akan berada di kereta selama kurang lebih 6 jam melintasi Jawa Barat menuju perbatasan Jawa Tengah yaitu Kabupaten Brebes. Meskipun jumlah penumpang kini dibatasi dan tidak ada lagi pengamen tapi tetap saja pedagang asongan hilir mudik tidak berhenti. Suasana semakin gelap dan kereta melaju semakin menjauhi DKI Jakarta. Saat mulai bosan kami berusaha membunuh waktu dengan bermain poker dan berbincang kesana – kemari.
Ketika adzan Isya berkumandang kereta berhenti di Stasiun Arjawinangun, desa kelahiranku dan tempat orang tua ku tinggal. Perasaan ingin turun dari kereta dan menemui ibu di rumah membuat galau hati dan pikiran. Kereta berhenti 3 menit terasa seperti 30 menit. Sesekali ku tengok kariel besar yang telah kusiapkan untuk pendakian dan berfikir apa saya turun saja dan membatalkan pendakianku. Akhirnya kereta kembali bergerak dan lampu di kejauhan semakin kecil terlihat, mungkin salah satunya lampu halaman rumahku.
Kereta berhenti di Stasiun Brebes tepat pukul 21.00 dan kami bergegas turun. Akhirnya bisa melepas penat duduk berjam-jam dalam gerbong kereta ekonomi. Biasanya Stasiun Brebes menandakan kurang dari seperempat perjalanan tapi sekarang ini adalah stasiun tujuan kami. Kami bertemu dengan mas Aming yang sudah menunggu bersama Erwin yang juga baru sampai dari Semarang. Kami berlima bergerak menuju kediaman Mas Aming yang tidak jauh dari stasiun. Malam ini kami mematangkan rencana untuk besok hari sambil menikmati hidangan ala Kabupaten Brebes dan pantai utara.
Pagi itu kami belum berkumpul seluruhnya, masih ada Fajar, Grace, Ayu dan kakaknya sedang dalam perjalanan menggunakan bis dari Rawamangun, sedangkan Jimmy dan Dika dari Lebak Bulus. Hingga pagi menjelang mereka belum memberikan kabar kedatangan di meeting point. Akhirnya kami memutuskan untuk berangkat menuju Pertigaan Yomani. Setelah deal malam tadi untuk menyewa sebuah mobil Suzuki APV yang dikendarain oleh salah satu rekan mas Aming kami bersepuluh berangkat. Dalam mobil itu kami berdesakan bersama barang bawaan dan musik reggae tidak berhenti berdentum dari stereo. Duduk sedapatnya tapi semua santai dan senang, baru kali ini saya berangkat naik gunung menggunakan mobil yang layak, biasanya Jeep atau Pickup Sayur bahkan Truk Pasir pun jadi.
Sesampainya di Pertigaan Yomani kami bertemu dengan Fajar, Grace, Ayu dan Abangnya. Jimmy dan Kodel masih sampai Cirebon, sepertinya mereka terjebak dengan bis abal dan berhenti di semua terminal jakarta baru bis itu keluar jakarta. kami memutuskan untuk berangkat menuju Desa Guci dulu dan berencana meninggalkan logistik untuk mereka berdua di Pos 1. Mobil semakin penuh setelah kami berkumpul, 13 orang dalam mobil itu, plus ransel bawaan kami. Semuanya bisa masuk dan yang terpenting semua senang.
Mobil berhenti di Dataran Tinggi Tuwel kemudian saya dan Ayu belanja ke dalam pasar. Membeli logistik untuk 15 orang selama 2 hari di hutan dan kami sengaja melebihkan logistik, lebih baik dari pada kelaparan di hutan nanti. Sayur, beras, ikan asin, kopi susu, gula merah dan bumbu sudah lengkap kami beli. Setelah semua persediaan lengkap kami segera melanjutkan perjalanan menuju Desa Guci.
Sekitar 50 meter sebelum loket pembayaran tiket masuk mobil berhenti, semua ransel di masukan ke mobil dan kami berjalan mengitari rumah warga untuk menghindari pembelian tiket. Menyusuri sungai dan sawah warga. Tidak lama kami sampai di titik pertemuan jalan dan kembali naik mobil untuk sampai di titik pendakian.
Setelah melewati sebuah jembatan dan terlihat curug di sebelah kanan kemudian mobil berhenti dan menurunkan semua muatan. Udara segar pegunungan terasa menenangkan, suara curug mengisi udara saat itu. Packing terakhir di lakukan masing-masing, tidak lupa untuk mengisi persediaan air dari curug untuk pendakian. Logistik dibagi menjadi 3, disimpan dikariel saya, yangga dan Mas Aming. Masing-masing orang membawa air untuk persediaan di pendakian.
Memotong menuju Pos 1 |
Pendakian dimulai pukul 09.15, tidak lama berselang kami sudah terbagi menjadi 2 kelompok, kelompok depan dan belakang. Saya tidak tahu betul bagaimana susunan di depan tapi yang pasti 4 orang terakhir adalah Grace, Fajar, mas Aming dan yang paling belakang saya, seperti biasa. Semakin lama tertinggal hingga sudah tidak terdengar lagi suara tim depan kami semakin memperlambat tempo langkah. Pendakian gunung itu di hitung dari yang terlemah, bukan dari rata-rata apalagi dari yang terkuat.
Awal jalur pendakian kami bukan melalui jalur biasanya. Seharusnya kami mendaftar dan membayar retribusi sebesar Rp.5.000 terlebih dahulu tapi kami memilih untuk melewati jalur ini karena lebih cepat dan jalur tanah bukan tangga batu sehingga tidak menyakiti kaki. Vegetasi awal adalah kebun pinus dan semak perdu setinggi 2 meter menjadi pemandangan di kanan kiri dari titik pendakian hingga pos 1.
Satu jam kemudian kami berempat sampai di Pos 1. Tidak lupa untuk menanam logistik untuk Jimmy dan Kodel di bawah tanda Pos 1. Entah mereka akan menyadari atau tidak, lebih buruk lagi logistik ini akan di ambil bukan oleh jimmy dan kodel. Kami istirahat minum dan makan sedikit cemilan kemudian kami jalan lagi.
Pos 1 |
Kali ini semak perdu semakin rapat dan jalur semakin terjal. Vegetasi Pos 1 menuju Pos 2 adalah Pinus dan jenis palm (Licuala Spinosa) yang tumbuh subur dan berlumut. Pohon-pohon hutan tropis menutupi sinar matahari sehingga udara menjadi lembab dan basah. Sesekali kami menemui percabangan jalur, kami memilih jalur yang menanjak sesuai dengan yang sudah kami baca. Jalur ini akan ditemui banyak percabangan, sebaiknya sebelum mendaki melalui Guci disarankan untuk mencari banyak informasi dari sumber terpercaya.
Semakin ke atas semakin sering kami berhenti untuk istirahat. Sejenak berhenti melemaskan kaki dan mengatur nafas, sesekali minum dan memakan gula merah. Kabut sedikit demi sedikit turun dan kadang gerimis membuat kami membuka jas hujan. Fisik ini kurang persiapan, cepat merasa lelah dan letih, nafas tidak beraturan dan cepat haus. Semakin banyak gunung yang di daki bukan berarti meningkatnya performa fisik tapi semua tetap tergantung bagaimana kita mempersiapkannya disetiap pendakian.
Pos 2 : Pondok Cemara |
Hutan semakin lebat dan yang terdengar hanyalah suara langkah dan nafas. Sekitar pukul 12.00 kami sampai di pos 2, Pondok Cemara. Pos ini berada pada 1951 mDPL dan sesuai namanya di sekitar pos ini terlihat banyak pohon cemara (Casuarinaceae). Kami duduk di pohon tumbang yang berada di tengah, hanya berhenti sejenak di pos ini karena mungkin tim depan sudah menunggu di pos 3. Jalur untuk ke Pos 3 ada di sebelah kanan bukan sebelah kiri, terus ikut jalur menanjak.
Pepohonan semakin ke atas semakin dipenuhi lumut dan perdu semakin lebat di sisi kanan kiri. Trek semakin terjal bahkan sesekali pohon tumbang mengharuskan kami untuk menunduk bahkan merangkak. Jalur Guci memang dikenal lebih terjal dibanding jalur lain meskipun sudah berada di ketinggian 1.150 mDPL, contournya yang terjal jalur sedikit memutar tapi tetap saja rasanya tidak ada bedanya.
Satu jam kemudian kami mendengar suara teman-teman di depan dan tidak lama sampailah kami di Pos 3. Pos Pondok Pasang dengan ketinggian 2.120 mdpl, hanya beda kurang lebih 200 mdpl dari pos 2 tapi tanjakan yang dilalui terasa berat. Ketika kami sampai tim depan sudah sedang memasak lauk, kami sudah mempersiapkan nasi untuk makan siang dari bawah sehingga lebih menghemat waktu. Kontan saja, ketika semua makanan siap tidak butuh waktu lama untuk habis. Makan dengan cara seadanya karena sudah diburu rasa lapar.
Makan Siang di Pos 3 : Pondok Pasang |
Setelah semua peralatan di packing ulang tim depan kembali berjalan lebih dulu, kami tim belakang alias sweeper menunggu sambil istirahat lebih lama. Pos 3 ke pos 4 jalurnya panjang, terjal dan hutannya lebat, jadi kami mempersiapkan fisik dan mental terlebih dahulu. Sekitar 10 menit kemudian kami baru jalan kembali. Langsung di hajar dengan kemiringan tanjakan sekitar 60 - 70 derajat membuat kami lempar kerriel di ujung tanjakan.
Benar saja, perjalanan antar pos yang seharusnya tidak lebih dari 2 jam kami lalui hingga hampir 3 jam. Menanjak, menunduk hingga menurunkan karriel membuat perjalanan semakin memakan waktu. Hal yang membuat lambat perjalanan adalah tidur. Saya dan mas aming sempat untuk tidur kurang lebih 15 menit di jalur pendakian. Rasa kantuk luar biasa tidak tertahan dan terbangun dengan sekujur tubuh dingin. Faktanya sebagian besar kematian digunung terjadi pada saat pendaki tidur, bukan karena kecelakaan, melaikan karena hilangnya panas tubuh (eksposur) yang menyebabkan hipotermia.
Berkali-kali kami memanggil tim depan untuk mengetahui jarak tapi tidak terdengar sama sekali jawaban dan kabut semakin pekat turun dari langit. Sudah 2 jam kami berjalan dari pos 3 tapi belum menemukan tanda pos 4. Grace yang semakin pucat membuat kami bertiga cemas, lebih sering istirahat dan menunggu untuk memulihkan tenaga sementara. Sesekali ia memakan gula merah untuk menambah energi sementara. Kami tidak mau memaksakan, bahkan jika dia tidak kuat dan harus camp di pos 4 pun tidak masalah buat kami, yang penting dia tidak semakin memburuk keadaannya.
Lebih dari jam 5 sore kami baru sampai di pos 4, Pondok Kematus. Di ketinggian 2578 mdpl ini mulai turun tekanan udara dan kadar oksigen, rentan terkena hipotermia. Benar saja, grace semakin pucat dan lemas, berkeringat dingin, lemas dan pusing. Kami langsung membuka karriel, mengeluarkan alas untuk dia tidur dan menghangatkan dengan jaket dan sleeping bag, apapun yang bisa menghangatkan. Saya dan fajar membagi logistik yang kami bawa menjadi dua, saya berencana untuk menyusul keatas untuk mengambil tenda. Setelah semua siap saya dan mas aming menyusul ke atas meninggalkan fajar dan grace.
Jalur semakin lebat, kami lebih sering merangkak dan memanjat untuk melewati akar dan pohon tumbang. Sesekali melewati bekas Babi Hutan (sus scorfa) mencari makanannya yaitu cacing tanah. Beberapa kali salah jalur yang berarti harus memutar balik atau lebih memilih untuk melewati akar-akar pohon yang lebat. Saya berteriak memanggil tim di depan, terdengar jawaban sayup-sayup menandakan tidak jauh lagi sampai di pos 5.
Akhirnya kurang dari 30 menit kami sampai di pos 5, Pondok Edelweis. Sesampainya disana kami langsung berdiskusi dan mengeluarkan logistik. Tenda sudah terpasang semua, kompor sudah di nyalakan dan suasana semakin gelap, akhirnya kami memutuskan untuk menjemput Grace dan fajar apapun yang terjadi. Saya, mas aming, mas iqbal dan yangga turun untuk menjemput dan mengambil air.
Mas Iqbal dan yangga mengambil air di bawah pos 4 sedangkan saya dan mas aming menjemput grace dan fajar. Grace semakin pucat, saya dan mas aming membawa karriel fajar dan mas aming sedangkan fajar memapah grace. Perjalanan kali ini cukup sulit, kami harus memapah dan membawa kerriel sedangkan keadaan semakin gelap sehingga memakan waktu lebih lama. Jalur sempit itu harus di lalui dengan 2 orang berderet dan setengah menunduk agar tidak terbentur akar-akar. Memang, kesabaran saat mendaki gunung sangat di uji, kita tidak bisa arogan dan egois, harus tetap toleransi dan mengerti sesama teman.
Dengan susah payah akhirnya sampai di pos 5 dengan keadaan sudah gelap gulita. Grace langsung di berikan pertolongan pertama untuk Hipotermia, ganti baju dan diberikan minuman hangat, kemudian istirahat. Berharap dia berhasil pulih dan tidak terjadi sesuatu yang lebih buruk.
makan malam di Pos 5 : Pondok Edelweis |
Malam ini tidak hanya ada cahaya dari kompor dan headlamp, tapi ternyata malam ini sangat cerah. Langit bertabur bintang dan angin tidak terlalu kencang sehingga nyaman untuk istirahat. Mempersiapkan semua perlengkapan untuk summit attack nanti. 4 tenda sudah terpasang dengan baik, mulai dari untuk 2 orang, 3 orang, 4 orang hingga yang terbesar 7 orang. Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih banyak, baik logistik maupun perlengkapan penunjang. Semua demi kenyamanan dan kepuasan saat berada di gunung.
Pos 5 dengan sebutan Pondok Edelweis kini sudah tidak tercium lagi harumnya edelweis. Entah kapan terakhir bunga itu mekar di pos ini, ulah tangan-tangan kotor sehingga bunga abadi itu lenyap dari jalur guci. Tindakan memetik bunga dan membakar batangnya untuk api unggun sangat mempengaruhi kelestarian tanaman perdu puncak gunung ini. Mulailah melestarikan alam kita dengan tidak merusaknya, ingatkan jika perlu kepada teman-teman sesama penggiat alam.
Malam ini kami makanan yang di masak oleh mas aming, oseng sayur dan ikan asin membuat malam ini kami bisa tidur dengan nyenyak. Kami bertigabelas berbaur di dalam tenda ukuran 7 orang sambil menikmati makanan dan minum kopi. Tidak lupa memikirkan nasib kedua teman yang tertinggal di belakang, Jimmy dan Kodel, kami yakin mereka bisa melewati semua tanjakan itu. Setelah semua peralatan di rapikan dan bekal untuk summit attack dini hari disiapkan kami semua kembali ke tenda masing-masing.
00.00 saya mendengar suara langkah mendekat, semakin dekat semakin mengenal suara mereka, Jimmy dan Kodel sampai. Luar biasa, ternyata mereka bisa menyusul kami hingga di pos 5. Start dari bawah pukul 1 siang dan sampai di antara pos 4 ke 5 pukul 7 malam. Mereka buka tenda di jalur karena tidak kuat berjalan dan beristirahat terlebih dahulu dan lanjut jalan sekitar pukul 23.30 lewat.
Istirahat Menikmati Pemandangan Dalam Perjalanan Puncak |
Mereka berdua segera memasak makanan dan memanaskan air. Benar saja, mereka tidak menemukan logistik yang kami tinggalkan di pos 1, sudah ada yg mengambil terlebih dahulu. Saya ingat di perjalanan dari pos 2 ke pos 3 bertemu dengan pendaki lain yang hendak turun, seorang bule dan seorang guidenya. Mungkin mereka berdua yang mengambilnya, pikiran buruk ku.
Kami semua terbangun sekitar pukul 1 dini hari. Mempersiapkan pendakian terakhir menuju puncak guci. Tidak lupa untuk meminum kopi panas buatan mas Iqbal dan memakan Bala-bala buatan mas aming sebelum tidur tadi. Senter sudah dinyalakan. sepatu sudah di ikat, air sudah di isi, jaket sudah dipakai tidak lupa dengan masker dan pelindung kepala. Kami sembilan orang berangkat menuju puncak guci 3428 mdpl, Fajar, grace, ayu dan mas aming menunggu di tenda.
Kami harus mengisi air di pos 6 sebelum melewati batas vegetasi. Pos Plawangan biasa di gunakan sebagai base camp terakhir sebelum puncak. Masih terlihat jelas petak-petak pendaki yang membuka tenda di pos ini. Dari pos ini terlihat puncak bayangan dan jalur yang akan dilalui. Angin mulai kencang menerpa dari arah puncak yang tentu akan menghambat pendakian. Setelah semua botol air diisi kami mulai menitipi menuju puncak slamet.
Pukul 2 lebih kami berangkat dari Pos Plawangan. Langit masih gelap bertabur bintang dan tidak hanya dilangit ternyata dari sini sudah terlihat hiasan lampu perkotaan yang sangat cantik. Angin sangat kencang menerpa dari atas, lebih tepatnya dari segala penjuru. Menerbangkah pasir dan debu akibat langkah orang di depan. Beban yang ku bawa yaitu 1 buah jirigen dan tas pinggang membuat langkah terhambat dan sulit mengatur keseimbangan. Sesekali berhenti dan duduk mengatur nafas sambil menikmati pemandangan.
Jimmy |
Saya menjadi sweeper di summit attack kali ini. Tiga terakhir yaitu Kodel, Jimmy dan saya melangkah dengan perlahan dan penuh beban. Air dalam jirigen yang penuh ini disiapkan untuk membuat adukan semen penyangga tiang Triangulasi di puncak nanti. Saya ikat tali rafia untuk mengalungkan jirigen agar lebih mudah dibawa. Semakin lama langkah kami semakin melambat. Jalur batu dan pasir memang sulit untuk dilalui, kadang langkah melorot kadang beruntung menginjak batu yang paten. Perlahan-lahan kami meniti jalur ini untuk mencapai puncak yang masih belum terlihat.
Bayangan gelap terbentang sepanjang pandangan kedepan, langit mulai membiru menandakan fajar menjelang. Sudah lebih dari 1 jam kami berjalan menuju puncak tapi belum berhasil melihat tanda-tanda puncak. Saya semakin jauh tertinggal dari rombongan, hanya saya, kodel dan jimmy. Angin menderu mendorong dari atas dan samping. Kami duduk memandang pesona langit yaitu lautan awan dan dataran tinggi Guci. Sungguh pemandangan yang langka karena tidak semua orang bisa mengunjungi tempat-tempat terindah seperti ini. Kali ini saya tidak ingin terburu-buru sampai di puncak, ingin menikmati lebih lama pesona keindahannya.
2 jam sudah saya meniti menuju puncak. Mentari bersiap untuk muncul dari ujung horizon timur. Tim depan sudah tidak terlihat dari tempat saya berdiri sekarang, menandakan bahwa mereka telah melewati puncak bayangan. Semakin keatas jalur berpasir semakin dominan dan memperlambat langkah. Kali ini saya menyusul jimmy, kodel dan erwin. Bayangan gunung slamet sudah terlihat mengerucut di belakangku. Hanya tinggal beberapa langkah terakhir melewati puncak bayangan. Saya mempercepat langkah dan akhirnya melihat tim depan sudah mendekati puncak.
Ketika Pagi Menjelang |
Mereka sudah sampai di puncak dan terlihat sedang mengatur nafas. Giliran saya sampai dengan sedikit berlari mengakhir summit attack kali ini. Setelah kehabisan nafas dan duduk mengatur nafas akhirnya sampailah saya di puncak Segoro Wedi gunung Slamet kurang dari pukul 05.00 pagi. Tinggal jimmy, erwin dan kodel yang masih berjuang di bawah. Akhirnya perjuangan sekitar 3 jam menuju puncak lebih tepat nya 12 jam sejak titik pendakian berakhir. Sejenak menikmati pemandangan yang luar biasa indah sebelum beranjak memasang plat puncak.
Setelah semua tim sampai di puncak kami bergegas memasang plat Gunung Slamet, bukan Puncak Slamet, kenapa ?? karena jalur guci itu tidak mengarah langsung menuju Puncak Slamet melainkan harus memutar terlebih dahulu kurang lebih 2-3 jam perjalanan, sedangkah jalur yang harus dilalui terputus sejak erupsi terakhir.
Puncak Sejati memang bukan tujuan kami tapi cukup memasang plakat Gunung Slamet membuat kami puas. Setelah mengaduk semen dan menimbun seadanya dengan batu plat itu terpasang dengan baik. Angin yang tidak berhenti menerpa membuat plat bergoyang hebat dan seolah-olah akan terbang terbawa angin. Kami hanya bisa berdoa semoga plat itu bisa bertahan dalam waktu yang lama.
kami tidak berlama-lama berada di puncak, serangan angin yang dahsyat membuat kami menggigil dan goyah. Setelah memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal kami mulai menuri puncak satu persatu. Saya yang terakhir berjalan meninggalkan puncak dengan tidak lagi membawa jirigen. Sekali lagi memandang plat yang masih di serang angin tiada henti untuk terakhir kali.
Prosesi Pemasangan Plat |
Perjalanan turun mungkin bisa dibilang lebih sulit daripada perjalanan ke atas. Kami harus ekstra hati-hati karena batu tidak seluruhnya paten, beberapa merosot dan membuat kami goyah bahkan bisa terjatuh ke jurang. Sinah matahari belum melewati puncak sehingga bayangan gunung slamet masih terlihat di dataran rendah. Di belakang masih terlihat kawah yang mengeluarkan asap belerang dan bercahaya terkena sinar matahari.
Perjalanan turun menghabiskan waktu 1 jam 30 menit, lebih cepat namun lebih berbahaya. Sesampainya di Pos Plawangan saya berhenti sejenak untuk mengeluarkan kerikil yang masuk ke sepatu. Tim depan sepertinya sudah sampai di pos 5 karena saya sudah tidak mendengar suaranya lagi. Saya mempercepat langkah bahkan berlari menuruni bukit vegetasi terakhir.
Trek Menuju Puncak |
View Puncak |
Sesampainya di Base Camp kami segera menyantap makanan yang di masak oleh mas aming, nasi goreng, tumis tempe, ikan asin. Tidak ketinggalan agar-agar menjadi penutup sarapan terakhir sebelum turun gunung, logistik kali ini benar-benar melimpah. Saya memanaskan air untuk menyeduh susu dan kopi. Menikmati pagi yang cerah di hutan menghirup udara segar dan memandang awan yang melayang rendah, membuat rindu untuk segera berkunjung lagi.
Perjalanan turun memang lebih cepat namun trek yang terjal dan licin membuat langkah lebih hati-hati atau sesekali terpeleset. Pos 5 ke Pos 4 tak lebih dari 15 menit saja meskipun harus menurun kan Carriel dan merunduk menghindari akar pohon. tidak lupa untuk mengisi air di Pos 4 dan kami lanjut turun dengan lebih cepat karena jalur lebih landai.
sampai di Pos 3 sekitar 30 menit kemudian, membayangankan 3 jam perjalanan naik di balas hanya 30 menit. perjalanan turun yang terpisah karena masing-masing berlari dan berjalan cepat hingga kami bertemu kembali di Pos 2. hanya istirahat sejenak dan mengatur nafas kami segera saja jalan menuju ke Pos 1. kali ini kami tidak bisa lari karena jalur licin dan penuh dengan turunan terjal.
ketika mulai berjalan menuju pemandian umum akhirnya yang di tunggu datang juga, hujan. segera saya mengeluarkan jas hujan dan menutupi Carriel tapi tidak bisa menutupi badanku seluruhnya, biarlah basah toh mau mandi-mandian juga. beberapa teman membiarkan hujan membasahi dan tetap berjalan ditengah hujan yang semakin deras. melewati hutan pinus warga dan jalanan paving batu di tengah hujan sungguh suasana yang menyenangkan. saya sangat menikmati jalan di tengah hujan seperti ini.
kami mengakhiri pedakian dengan berendam air hangat di pemandian umum Guci. setelah berendam semua lelah dan letih hilang untuk sementara. kami menunggu mobil yang menjemput di Guci dan mengantarkan kami menuju Terminal Tegal. kali ini mobil pick up yang mengangkut kami berlima-belas. selama diperjalanan saya tidak lepas memandang puncak Slamet dari kejauhan. Setiap gunung mempunyai keindahannya sendiri. Insyaallah saya akan mengunjungi mu lagi lewat jalur yang lain. amiin.
ucapan terima kasih yang sangat besar kepada Mas Aming dan Mas Iqbal yang sudah menemani perjalanan kami, menjamu kami dengan sangat istimewa sehingga kami merasa sedang di rumah bahkan kami merasa sebagai saudara dekat. kami ucapkan banyak permohonan maaf karena sudah merepotkan teman-teman di Brebes, di tunggu kunjungan ke Jakarta kelak akan kami jamu. Kalian memang pendaki gunung yang tangguh, Salam Lestari.
RINCIAN BIAYA :
Mas Iqbal |
Mas Aming |
RINCIAN BIAYA :
Jakarta - Brebes by Tegal Arum = Rp. 15.000 PP = Rp. 30.000
Brebes - Guci ( sewa mobil ) = Rp. 22.000/org X 13 orang
Retribusi Pendakian = Rp. 5.000
Logistik Pendakian 2 Hari 1 Malam = Rp. 15.000
Sewa Pick-up Guci - Terminal Tegal = Rp. 10.000/org X 15 orang
TOTAL Biaya = Rp. 82.000 / orang
>>>>> ALBUM FOTO LENGKAP <<<<<
4 Comment:
mantap lim :thumbup deh buat tim dokumentasi, ditunggu foto terlengkapnya :)
gracias, captain ! :D
photos will be there soon
Um aming dah emang manteb, suatu saat kita beles kebaikan dia di jakarta :D
keren mas, aq orang asli tegal aj lom pernah nyampe puncak... :)
Posting Komentar
Haloo !
Silakan mengisi Form di bawah ini untuk meninggalkan komentar pada tulisan ini.