29 Mei 2011

Catatan Pertama (Part 1)




Bertahun-tahun setelah lupa bagaimana saya mulai terkena racun backpacker, malam ini saya akan menceritakan sebagian dari hari-hari itu. Mendadak teringat bagaimana dulu semuanya terjadi begitu saja. Bingung malam minggu mau ngapain, iseng buka foto lama, jadi pengen cerita dulu seperti apa waktu pertama backpacker-an. Sekedar penawar rindu dan salam hangat untuk sahabatku Amirrudin dan Salikun, kita pengen dolan karo ira kabeh sing adoh maning. Kita bertiga punya jalan masing-masing, yakin suatu hari nanti bisa jalan bertiga lagi. I miss you, guys !

Edensor, dari beberapa bab di novel ini saya mengetahui tentang backpacker. Tantangan yang digambarkan dalam novel itu membuatku tertarik, tersesat, mencari arah, bertahan hidup, dan berbagai hal lain tentang survival.  Umurku yang masih relatif muda tidak menjadi penghambat untuk merasakan sensasi itu secara lansung. Akhirnya saat tahun ke-2 Sekolah Menengah Atas saya melakukan backpacking pertama.

Yogyakarta, tempat pertama yang terpikir untuk didatangi. Mendengar tentang seluk-beluk kota dari internet, artikel dan referensi lain sebagai modal untuk berangkat. Kesan pertama yang muncul, retro! Kota yang menjadi pusat kebudayaan Jawa, tempat yang konon adat-istiadat masa lampau masih bertahan. Saya orang awam yang tidak ada pengalaman sedikitpun mengenai berjalan jauh, melintas kota orang, dan menjadi pendatang baru untuk “menjamah” kebudayaan mereka. Berfikir pendek hanya semata memenuhi ego remaja yang serba ingin mencoba hal baru.

Saya tidak sendiri. Dua teman yang juga teracuni berhasil saya ajak hingga trip ini selesai. Amir dan Ikun, bukan teman sekelas ataupun satu desa. Mereka berdua hanya orang nekat yang bisa diajak kemanapun, dengan budget minim tentunya. Tak jauh berbeda denganku, mereka hanya terpaut lahir beberapa bulan lebih awal. Remaja biasa, nekat, polos, namun sedikit terbawa perubahan zaman. Ya, mereka berdua juga yang akan menemani di trip selanjutnya, tentu akan saya bahas di lain waktu.

Nekat namun tidak bodoh terlalu banget. Kami bertiga berangkat dengan hanya membawa uang yang kami prediksi cukup untuk beberapa hari bertahan hidup sambil menikmati kota Jogja. Ngeprint peta kota, beli buku Wisata Jogja, bawa carrier seperti mau ke gunung, hmm ya mungkin beberapa barang pribadi lain juga dibawa. Kami juga membawa kamera digital biasa yang kelak tidak bisa digunakan, bisa ding tapi hanya disaat yang ”tepat”. 


Saya lupa tepatnya hari apa kami berangkat, tapi hari itu adalah libur semester di tahun ke-2 sekolah menengah atas. Izin seadanya dari mamah papah, “hubungin mamah kalo ada apa-apa, uangnya cukup ga?” pesan mamah sebelum berangkat. Saya jawab seadanya saja, tak ingin membuat khawatir. Sama halnya dengan kedua temanku. 

Tanpa memesan tiket jauh-jauh hari untuk duduk di kereta ekonomi menuju Jogja adalah sebuah awal yang salah, karena kami berdiri selama 7 jam ditengah gerbong berpenumpang penuh plus pedagang asongan yang nonstop hilir mudik dikereta. Sekitar jam 7 sore kami start meninggalkan stasiun Prujakan Cirebon menuju Stasiun Lempuyangan di Jogja. 

Perjalanan pertamaku dengan kereta api tidak sebaik yang diharapkan. datang di stasiun 1 jam lebih awal dengan wajah pede seolah perjalanan akan menyenangkan. Masuk stasiun dan langsung membeli tiket seharga Rp26.000, tiket tanpa tempat duduk alias berdiri atau apalah terserah. Kami langsung masuk dan duduk sedapatnya di peron. Melihat banyak orang dengan tujuan entah kemana. Suasana sore mulai gelap. Berganti pengumuman dari ruang masinis bersuara. Akhirnya pengumuman untuk kereta yang kami akan naiki dibacakan. Telat.

Lebih dari 1 jam kami menunggu dan akhirnya datang juga kereta yang mulai terlihat dari jauh. Mendekat perlahan, penuh sesak sudah terlihat dari jendela-jendelanya. Prasangka buruk datang, semua orang yang duduk di samping kanan kiri beranjak berdiri. 90% dari orang yang ada dikereta menunggu kereta yang sama, 10% nya adalah pedagang asongan yang ingin menunaikan tugasnya. 


Posisi menentukan prestasi. Mungkin peribahasa nakal itu yang tepat untuk menggambarkan kondisi kami 1 sampai 7 jam berikutnya. Kami berdiri di ujung peron yang tentu saja akan sulit untuk masuk. Hajar dorong sana sini untuk bisa masuk lewat pintu ukuran 2x1 meter itu. Ditambah dengan 2 buah carrier yang cukup menambah hambatan. Ampun dah ! sulit banget buat masuk, ada penumpang yang ingin keluar untuk sekedar ke WC tidak bisa mengalah. Dengan susah payah akhirnya kami bertiga berdiri dalam gerbong yang panas, pengap, bau apek, sumup. Lebih dari 50 orang dalam satu gerbong ini. Tidak ada ruang untuk duduk. semua orang berdiri di selasar gerbong, jongkok saja sulit. Kandang ayam atau bebek aja ga gini-gini amat dah ! 

Sejujurnya dulu saya ngeri, kecewa, menyesal mengetahui bagaimana keadaan pada saat itu. Sebenarnya tersisa beberapa menit untuk mengambil keputusan. Turun dan membatalkan trip atau diam berdiri untuk sampai di Jogja dan pulang dengan keadaan seperti dikereta yang sama. Tapi saya terlalu bodoh saat itu. Otak berhenti berfikir. Darah keluar bersama keringat, habis tidak mengalir. Sampai kereta kembali berjalan dan detik-detik terasa berkali-lipat lebih panjang. Sangat panjang. Bagaimana saya bisa bertahan dalam keadaan itupun saya tidak mengerti. Cuek aja !

 

0 Comment:

Posting Komentar

Haloo !

Silakan mengisi Form di bawah ini untuk meninggalkan komentar pada tulisan ini.

 
; Blogger Widgets