4 Jan 2012

Menyambut Badai di Gunung Merbabu


/hihi /hihi

Desember adalah bulan dengan curah hujan cukup tinggi, siang malam pagi sore hujan turun tak menentu membuat basah setiap kali keluar rumah. Langit hampir terlihat selalu kelabu dengan awan gelap menggantung di atas Bandung. Saat itu rabu sore hari setelah kuliah hujan turun dengan deras dan  aku kehujanan dalam perjalanan pulang ke kostan. Sesampainya di rumah aku segera berbenah agar keadaan fisik tidak semakin buruk. Benar saja demam; batuk; pilek dan sakit kepala, kira-kira itulah keadaanku H-3 pendakian gunung Merbabu. Ditambah kurangnya istirahat karena diberondong berbagai tugas akhir semester semakin memperparah daya tahan tubuh. /blur


Desa Daman - Kopeng



Berusaha mensugesti pikiran bahwa tubuh ini masih sehat dan fit hingga akhirnya aku tetap berangkat menuju Solo pada Jumat malam 23 Desember 2011. Mau gimana lagi, udah kena racun naik gunung keadaan sakit gini ya obatnya naik gunung, pikirku. Meskipun nuril sudah memperingatkan ku, “Kalo nanti H-1 kamu masih sakit ga ada merbabu buat kamu, Lim!”. /please

sunset dari pos 2



Aku berangkat ke stasiun lebih awal dari jadwal seharusnya demi menghindari hujan, males keluarin jas hujan sih sebenernya. Sampai di stasiun tepat pukul 19.00 malam, lebih awal satu setengah jam dari kedatangan kereta dan yang paling penting gak basah kehujanan dalam perjalanan. Bertemu dengan Ari yang sudah menunggu dan datanglah Rina tiba-tiba memanggil dari luar pagar. Kemudian Yanstri datang mendekati pukul setengah Sembilan. Setelah packing dan dan Yanstri membeli bekal makan untuk di kereta kami berempat bergerak menuju peron 7 untuk menunggu datangnya KA Kahuripan dari arah barat. /cektkp

Menunggu kerumunan yang hendak masuk berkurang akhirnya kami bisa menempati kursi yang tertera di tiket yaitu 18A hingga 18E di gerbong 1.  Kami berempat sudah duduk dan posisi siap untuk istirahat. Di belakang kursi ku ada beberapa teman satu kampus, Imam; Nestri; Widya; Anita; dan dua teman Widya, mereka menuju Jogja. Kereta berangkat lewat pukul 9, ngaret kurang lebih 30 menit. Sekitar 10 jam kami akan berada didalam kereta ini hingga turun di Stasiun Purwosari. Kereta bergerak meliuk mengikuti kontur pegunungan menuju jalur selatan pulau jawa. Kalo aja in ibis mungkin sudah mabuk darat, tapi jendela diluar gelap jadi yang ada cuma bisa tidur sampe nanti pagi sampai di Purwosari. 

Stasiun Purwosari


Perjalanan menggunakan kereta sekarang lebih nyaman dari sebelumnya. Setelah diberlakukannya tiket 100% artinya tidak ada penumpang yang berdiri dan pengamen juga asongan yang tidak di perbolehkan berada di dalam gerbong. Tidak begitu terasa pengap dan riweuh dengan adanya asongan yang terus mondar mandir menjajakan dagangannya. Tapi sebenarnya adanya pedagang asongan di dalam kereta sedikit membantu, dengan jarak perjalanan yang jauh mereka mempermudah kita untuk membeli minum dan makanan. Asongan dan pengamen membuat esensi tersendiri untuk setiap perjalanan jauh menggunakan kereta karena kadang bisa menjadi bahan cerita dan candaan dalam perjalanan. 



/dignose

Ahh rasanya sesuatu banget pas udah turun dari kereta ini, ngaret setengah jam dari jadwal tapi ga apa2, yang penting sekarang udah di Stasiun Purwosari dan sedikit lagi sampai di Salatiga. Kami sedikit berbenah dan sarapan sebelum lanjut naik bis ke salatiga, Yanstri ke Toilet dan Ari sarapan di kedai makan Stasiun. Rp. 7.000 rupiah untuk seporsi Soto dan nasi serta Rp.2.000 untuk es teh manis. Pas mereka masih makan aku keluar stasiun dan tanya sana sini gimana cara buat ke salatiga. Kata seorang tukang becak dari Purwosari bisa naik bis Safari cukup dengan Rp.10.000 saja. Bilang aja ke sopir angkotnya mau di turunin di tempat naik bis semarangan, nah ntar kita di turunin di tempat yang namanya Kerten. Setelah semua selesai dengan kegiatan masing-masing kami berjalan keluar dan naik angkot sebentar buat sampai di Shelter bis ‘Semarangan’.






Setelah turun dari angkot kami langsung saja naik bis Safari jurusan Semarang – Solo. Awalnya ragu pas lihat penampakan luar bis yang sekelas eksekutif VIP Bekasi – Bandung, rapih, cat mulus, AC dan Standar Euro 3. Aku duduk paling depan dan di dalam bis hanya ada sang sopir dan seorang ibu duduk di samping kami. Ketika ada pedagang asongan masuk aku bertanya tentang harga tiket bis sampai salatiga, ‘Rp.10.000 buat ke salatiga mas‘, syukurlah masih sesuai dengan informasi dari internet yang aku baca. Tidak lama bis berangkat meskipun penumpang masih 5 orang. Bis bergerak menuju Salatiga melewati jalan raya Semarang- Solo yang masih sepi dan beberapa kali berhenti untuk menaikan penumpang. Ari, Yanstri dan Rina menunjukan tanda-tanda segera tidur di perjalanan tapi aku memaksa mata untuk tetap melihat ke jalan, kalo ketiduran takut nanti malah kelewatan tempat turunnya.

Hampir jam setengah 11 siang bis berhenti di Pertigaan Pasar Sapi, Salatiga, disini kami di tunggu teman-teman dari Jakarta. Mereka sedang melengkapi logistik ketika kami menghampiri. Hmm kira-kira ada lebih dari 10 orang yang berangkat dari Jakarta. Mereka sampai di Semarang sekitar pukul 7 pagi menggunakan KA Tawang Jaya dan turun di Stasiun Poncol darisana mereka langsung menyewa bis ¾ menuju tempat ini. Setelah menempatkan tas di atas bis aku segera mencari tempat duduk dan bis melaju menuju desa Wekas, Base Camp kami.





Bis berkelok mengikuti jalan Raya Salatiga-Magelang. Langit mendung menunjukan tanda segera akan turun hujan. Benar saja, tidak lama kemudian kami diminta memasukan tas yang berada di atas ke bis karena gerimis. Keadaan dalam bis semakin penuh dengan adanya ransel kami dan tambahan 2 orang teman-teman Ari yang naik dari Kopeng. Bis bergerak semakin tinggi ke atas bukit dan bau pupuk organik semakin menyengat tercium dari jendela bis. Pemandangan kota Salatiga dan Gunung Ungaran di sebelah kanan menjadi obat untuk mabuk daratku. Sopirnya dewa banget, jalan yang cuma cukup buat 1 mobil di hajar dengan kecepatan penuh. Kami yang di dalamnya cuma bisa berdoa selamat. Setelah beberapa kali salah jalan akhirnya kami sampai di Base Camp desa Kenalan, Wekas, Magelang.

Menyelesaikan urusan bayaran dengan sopir bis dan kami semua masuk ke dalam rumah yang di jadikan base camp. Awalnya aku mengira bahwa rumah ini bukan base camp, karena dari luar hanya tampak seperti rumah biasa. Tapi setelah masuk ternyata rumah ini hanya berisi dengan keperluan pendakian seperti etalase berisi merchandise, penitipan motor, beberapa balai untuk istirahat dapur dan toilet.


Kami menempati balai paling dalam yang berdekatan dengan dapur. Packing sana sini dan menyantap makan siang telor dan sayur kemudian kami menerima kenyataan bahwa pendakian diawali dengan cuaca hujan. Setelah semua memakai jas hujan kami berdoa dan memulai pendakian gunung Merbabu, Bismillah /please



/cihui /cihui



Hmmm seperti biasa aku berjalan paling belakang sebagai sweeper. Jalur awal titik pendakian langsung menanjak dengan jalan aspal hingga tanah melintasi perkebunan warga. Masih terus menanjak hingga berujung pada persimpangan yang bertuliskan ‘Habitat arah kanan’ kami berhenti sejenak. Melihat-lihat sekitar apakah ada tanda atau jejak untuk kami menentukan jalur mana yang menuju puncak. Kemudian datang 2 orang pendaki yang mengambil jalan kanan namun pendaki itu bilang jalur ke puncak lewat kiri. Oke, kami jalan ke kiri dan meninggalkan mereka yang bergerak terus ke arah kanan.

Aku hanya menggunakan jas hujan sebatas paha, sandal gunung biasa, dan sebuah rain cover untuk Keril. Celana pendek yang ku gunakan sengaja aku gulung lebih tinggi agar tidak basah. Benar saja, hujan tidak berhenti dengan segera. Nafas kami sudah memburu, langkah kaki mulai terasa berat, ransel pun terasa semakin membebani langkah, padahal belum ada 1 jam kami berjalan. Rina terlihat sangat kesulitan membawa Ransel Deuter 45 nya itu. Reza mengambil alih ransel Rina dan memakai nya di belakang sedangkan ranselnya sendiri dipakai di depan. Tubuhnya yang besar terlihat biasa saja menggunakan 2 ransel sekaligus. Kami melanjutkan perjalanan dalam hujan itu, barisan semakin terpecah-pecah sesuai dengan keadaan fisik masing-masing. Aku paling belakang dengan Nuril dan Reza, sedikit di depan ada Jimmy; Yanstri dan Rina, kemudian paling depan ada Teguh; Indah; dan Iwa.




Hmmm hampir setengah jam Reza membawa ransel Rina, aku inisiatif untuk sebentar bergantian membawa. Beuh, rasanya tulang punggung ini ingin patah membawa 2 ransel sekaligus. Avtech 100 yang ku bawa di tambah Daypack Reza membuat langkah ku semakin gontai dan tak beraturan. Mungkin hanya bertahan kurang dari setengah jam sebelum aku menyerah dan mengembalikan ransel Reza. Hahhh, luar biasa lega setelah satu ransel itu turun dari pundakku. Senang bisa membantu walaupun hanya sebentar. Semangat membantu sesama Reza sepertinya perlu diapresiasi khusus dari Rina.

/sweat

Hujan masih terus turun namun sedikit mereda. hujan membuat jalur pendakian menjadi licin dan berlumpur. Aku mempercepat langkah untuk masuk ke barisan depan bersama Indah; Nuril; dan Iwa. aku  terus melangkah hingga hutan sedikit terbuka dan pemandangan gunung Ungaran di belakang semakin jelas. Berada di barisan depan menjadi lebih punya banyak waktu istirahat dan mengambil nafas. Akhirnya barisan depan semakin menjauh dan meninggalkan barisan belakang. Kami berempat berencana sampai lebih dulu di Pos 2 dan mendirikan tenda. Sesekali kami berhenti di sebuah tanah yang cukup landai dan berfikir apakah ini pos 1 atau ini hanya tegalan biasa.





Kira-kira setengah jam sebelum pos 2 kami bertemu dengan 4 pendaki lain, kami juga mendengar pendaki lain dari jalur Tekhelan yang berada di seberang bukit sebelah kiri. Kami bergerak terus mengikuti jalur yang berair, berlumpur dan licin. Jalur menuju pos 2 semakin licin meskipun hujan sudah reda. Beberapakali terjatuh dan terselamatkan oleh Trekking Pole pinjaman Indah. Bergerak semakin ke atas hingga Puncak Pemancar terlihat membuat semangat membara kembali. Suara-suara pendaki dari Pos 2 juga sudah mulai terdengar menguatkan langkah yang berat ini. Akhirnya kurang dari jam 6 kami sampai di Pos 2 gunung Merbabu. Pos 1 nya mana ?? /omg

Ketika sampai di Pos 2 matahari sedang menuju ufuk barat dengan sangat indah. Awan menggantung di langit dan angin bertiup tidak begitu kencang membuat suasana sore itu sungguh nyaman. Sengaja mengambil spot tenda yang dekat dengan matahari  dan tertutup semak agar terlindung dari angin. Selesai mendirikan tenda kami segera mengabadikan momen matahari yang indah itu dan yang lebih indah adalah muncul nya pelangi di langit yang mulai gelap. Subhanallah indah nya tiada dua, bagaikan sedang melihat wallpaper si sebuah layar komputer J





2 tenda sudah berdiri, sambil menunggu barisan belakang kami berganti pakaian yang basah dan berbenah tenda untuk persiapan makan malam. Tidak lama setelah matahari terbenam barisan belakang sampai di Pos 2. Mendirikan 1 tenda lagi dan kami mempersiapkan makan malam dari dalam tenda karena gerimis. Aku duduk di samping pintu tenda dan menyiapkan sup sayur, indah memotong-motong sayur dan ikan asin, jimmy membuat air panas dan nasi, Di tenda sebelah yanstri dan Rina membantu memotong sayur. Hmmm nasi yang jimmy buat sedikit kelebihan dan kekurangan air jadi rasanya kaya makan bubur di campur beras, tidak apa-apalah. Nuril kembali membuat nasi dan menyiapkan menu lainnya dengan segera.

Reza yang kecapean sesampainya di dalam tenda ia langsung istirahat hingga ketiduran sampai harus disuapin Indah. Selesai makan malam kami segera berbenah untuk istirahat dan tidur. Bersesak-sesak dalam tenda ukuran 3 yang diisi 4 orang plus ransel masing-masing rasanya sesuatu banget lho. Menikmati sesuatu yang apa adanya dan kami tidur dengan hujan masih bergermiricik diluar tenda.  Rencananya kami akan bangun jam 2 pagi untuk Summit ke Puncak Kenteng Songo. Entah bagaimana prakteknya nanti yang penting sekarang saya istirahat untuk mempersiapkan fisik yang mulai terasa demam ini.





Beberapa kali terbangun dan merasa sangat kedinginan karena badan menempel ke dinding tenda yang basah karena hujan. Aku merasa demam dan kepala sedikit pusing namun memaksakan diri untuk tidur kembali. Tidak terasa alarm sudah membangunkan tepat pukul 2 malam. Satu persatu kami bangun dan mempersiapkan peralatan untuk ke puncak. Keadaan fisikku tidak terlalu baik mengingat belum terlalu pulih dari demam beberapa hari ini.  

Masing-masing membawa 1 botol air minum dan perbekalan lain dimasukan kedalam daypack yang aku bawa. kami bergerak menuju puncak 1 lewat pukul 3.30 dini hari. Angin cukup tenang dan langit berbintang malam itu, kami yakin bisa sampai puncak dengan cuaca seperti ini. Bergerak semakin keatas vegetasi sudah semakin berubah. Beberapa kali melewati rerimbunan edelweiss dan pepohonan mentigi. Aku terus bergerak dengan mengikuti headlamp mengarah, mengatur nafas yang berebut oksigen dengan tumbuhan sekitar.





Semakin ke atas pemandangan malam hari Salatiga semakin terlihat indah dengan kelip lampu kotanya. Aku bergerak dengan barisan depan hingga sampai di simpangan antara Puncak Pemancar dan Puncak Helipad. Darisini jika ke kiri akan menemui puncak Pemancar sedangkan ke kanan akan langsung ke puncak-puncak selanjutnya  Aku masih kuat untuk berjalan dan sedikit narsis di plang itu sambil menikmati pemandangan 3S.
Matahari sudah sedikit muncul dari timur ketika kami semua sampai disini, setelah berfoto sebentar kami bergerak melanjutkan menuju Puncak Kenteng Songo. Aku berada di paling belakang, pusing dan tubuh demam membuat langkah semakin gontai. Angin berhembus sangat kencang dan berputar, Firasat buruk bahwa badai akan segera muncul. Pemandangan Gunung Sindoro, Sumbing dan Slamet yang tadi terlihat jelas segera berganti dengan putihnya kabut. Angin semakin dingin dan menyesakan nafas. Aku mengencangkan belitan syal dan masker, menyesal karena meninggalkan pelindung mata di tenda. Aku berjalan paling belakang dan tertinggal cukup jauh dari berisan terdepan.




Ketika sampai di Puncak Helipad kami berkumpul kembali dan menyantap sarapan roti dan susu. Aku makan banyak roti dan susu berniat untuk mengembalikan tenaga. Namun ternyata tetap saja, baru bangun dan berjalan beberapa langkah rasanya kepala ini berputar dan nafas pendek-pendek. Masih cukup sadar dan berfikir apakah aku terkena gejala AMS (accute mountain sickness) atau hanya gejala demam biasa. Aku masih terus berjalan hingga sampai di puncak 3 Geger Sapi.  Ketika sampai disini barisan depan sudah melanjutkan perjalanan menuju puncak selanjutnya, hanya Nuril yang menunggu dan Yanstri sedikit berada di depan. Aku istirahat dan berfikir untuk mengambil keputusan yang paling tepat.

Baiklah, fisik ini sudah harus kembali istirahat dan menyerah pada keadaan bahwa memang belum sepenuhnya pulih dari sakit. Aku memutuskan untuk kembali turun ke camp di pos 2 dan meninggalkan mereka yang terus bergerak ke puncak Kenteng Songo. Aku ditemani nuril kembali turun dengan gerimis yang mulai turun. Aku turun sangat pelan karena medan yang sudah di lalui ternyata sangat berbahaya untuk di turuni. Jalur gigiran gunung yang lebarnya hanya 2 meter dengan kanan kiri jurang dan angin bertiup sangat kencang. Membayangankan bagaimana angin jetstream yang meniup pendaki dari puncak everest dengan kecepatan 500km perjam membuatku merinding. Aku sampai kembali di tenda tepat pukul 8 pagi ketika barisan depan sudah sampai di puncak kenteng songo. Aku segera masuk tenda dan memanaskan air dan minum obat. Setelah minum obat dan makan sedikit aku tidur dengan beberapa lapis Sleeping Bag dan jaket.


Dalam tidurku mendengar suara angin dan hujan semakin deras, badai menerpa gunung merbabu ini di bulan Desember akhir. Membanyangkan keadaan tim puncak yang sedang turun dengan keadaan seperti ini membuatku khawatir. Aku beberapa kali terbangun dan menyadari mereka belum sampai hingga pukul 10 siang. Akhirnya Iwa dan Indah sampai di tenda sekitar pukul 11 siang, hujan masih turun deras dan angin belum berhenti. Menanyakan bagaimana keadaan teman lain yang sedang turun kepada mereka dan mengetahui bahwa Jimmy dan Teguh tetap melanjutkan perjalanan menuruni Selo dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Merapi dengan cuaca seperti ini. Hanya bisa berdoa semoga yang lain bisa sampai dalam keadaan baik-baik saja.



Kami berempat segera menyiapkan makanan untuk Yanstri, Rina dan Reza yang masih dalam perjalanan turun. Karena gas kami habis kami meminta tolong dari tenda Hasbi untuk memasak nasi dan sup. Mereka bertiga sampai dengan keadaan basah kuyup dan berlumpur. Hampir jam 2 siang mereka sampai di tenda dan segera packing. Mereka berencana turun saat itu juga menuju base camp dan kembali ke semarang sore harinya. Setelah packing sana sini dengan repotnya karena keadaan mereka basah kuyup kurang dari pukul 3 mereka turun menuju base camp tanpa makan sedikitpun semua yang kami siapkan untuk mereka. Tidak apalah, yang penting mereka bisa sampai base camp sesuai dengan rencana mereka.

Mungkin pertimbangan mereka untuk turun gunung saat itu juga adalah kurang memadainya tenda jika harus camp semalam lagi. Tenda yanstri dan rina basah karena tidak ada Plysheet dan Reza entah harus tidur dimana. Tenda yang ku tempati sudah susah untuk bergerak 4 orang didalam. Tapi sebenarnya kami sudah meminta tolong pada Opik dan Hasbi jika harus menumpang semalam di tendanya. Tiket kereta yang sudah di pesan pun di jadwalkan berangkat malam itu juga jam 7 dan 9 malam, mungkin alas an ini membuat mereka memaksa turun gunung. Rencana hanya jadi rencana, mereka sampai di semarang malam itu dan tetap ketinggalan kereta. Reza menggunakan bis dari semarang menuju Jakarta sedangkan Yanstri dan Rina menginap di Losmen untuk pulang paginya. Sedangkan kami tidur penuh sesak dalam tenda yang sedang di hajar badai di Pos 2 ini.


Kami berempat berencana untuk tinggal semalam lagi menunggu badai reda. Dengan keadaan seperti itu sulit bagiku untuk turun gunung, yang ada malah memperburuk keadaanku dan khawatir terserang hipotermia di perjalanan. Tidak bisa berbenah tenda sebelah yang di tempati yanstri dan rina karena hujan masih saja turun hingga sore hari kami melanjutkan istirahat dalam tenda hingga besok paginya. Sesekali bangun dan mendengar suara monyet-monyet berkerumun di luar tenda kami membuat tidak tenang. Khawatir mereka akan mengamuk dan menyerang kami tapi ternyata itu hanya prasangka buruk ku saja.





Aku bangun jam 5 pagi dan langit sudah terang namun matahari enggan muncul karena hujan masih turun. Hasbi pamit untuk Summit Attack paginya dan berpesan bisa menggunakan gas nya jika dibutuhkan tanpa lupa meminjam Head Lamp dan Jas hujan kami. Aku bangun dan perut sangat lapar, segera membuka persediaan logistik yang masih berlimpah dan memasak sarapan di tenda hasbi. Membuat nasi goreng dan sup sekedar untuk mengganjal perut pagi itu. Angin masih bertiup kencang membuat kabut menutupi Pos 2.  Kami berencana untuk segera turun ketika cuaca membaik. Packing sana sini dan membagi logistik untuk Hasbi dan Opik; berbenah tenda sebelah yang sekarang sudah seperti kebanjiran semata kaki. Sampai yang berceceran setelah di acak-acak oleh monyet yang lapar mencari makan tadi malam. Pekerjaan yang cukup banyak itu selesai sekitar pukul 9 pagi. Setelah semua selesai di pack matahari muncul dari balik puncak pemancar dan menyuguhkan kehangatan pagi yang terlambat. Awan turun dan memunculkan pesona kota salatiga dari ketinggian, Nampak indahnya Puncak 3 S, Slamet; Sindoro; Sumbing di arah barat. Cuaca cukup baik untuk turun gunung sekarang.



Setelah fix tiket kereta hangus malam tadi sehingga kami turun gunung bisa sedikit santai dan pelan. Menikmati perjalanan turun dengan angin yang tenang dan matahari bersinar sering kami berhenti dan foto-foto. Jalur cukup licin karena di guyur hujan hampir seharian kemarin membuat kami lebih berhati-hati. Terus mengikuti jalur pipa dan membuat kami terlalu ke kanan dan masuk jalur turun yang lain.

Ada satu kejadian yang lucu ketika kami berempat turun dan salah jalur. Iwa berlari menuruni jalan setapak dan terpeleset jatuh. Ia berhasil berdiri kembali tapi saat itu pijakannya masih limbung dan malah jatuh ke lereng di depannya. Hampir saja dia jatuh ke lereng itu jika tidak ada pegangan dan Indah sedang tidak ada di dekatnya. Saat aku ingin membantu mengangkatnya malah ikut terpeleset di tempat yang sama dan sulit sekali untuk bangun. hahaha kocak abis /wahaha


Beberapa kali bertemu persimpangan kami terus mengambil kanan dan mengikuti pipa air warga hingga akhirnya kami menyadari saat salah jalur ketika menemui tegalan. Seingatku tidak ada tegalan yang kami lewati saat ke atas kemarin, yang ada cuma tanjakan dan tanjakan. Tapi selama jalur jelas kami terus mengikuti jalur tersebut dan yakin bahwa akan ada pemukiman di bawah sana nanti. Benar saja, tidak beberapa lama kemudian kami menemui hutan pinus konservasi dan ladang warga, jalur ini sangat berbeda dengan jalur ketika naik kemarin. Jalur yang lebih landai dan lebih banyak percabangan. Di sebelah kanan kami terlihat tebing-tebing jalur tekhelan yang berbatu. Hanya sekitar 2 jam kami sudah bertemu dengan ladang warga.



Ternyata kami meleset jalur ke arah yang lebih landai yaitu Desa Daman. Kami bertanya ke pada petani yang sedang meladang bagaimana cara untuk kembali ke Pasar Ngablak. Setelah berjalan melintasi perkebunan warga dan rumah-rumah kami sampai jalan desa dan berhenti di sebuah warung kecil. Disini kami membeli teh manis panas dan sedikit cemilan dan bertanya tentang cara turun kebawah. Alhamdulillah, kerabat ibu itu bisa mengantar hingga Pasar Ngablak dengan membayar Rp.25.000 untuk 2 orang.

Dulunya Desa Daman merupakan salah satu Base Camp pendakian Merbabu tapi entah kenapa dipindahkan ke desa Wekas. tapi kita masih bisa melakukan pendakian via jalur Daman ini. jika ingin menuju desa ini bisa turun tepat di depan pasar Ngablak dan naik ojeg minta di anter ke rumah Pak Sandi bayarnya Rp.25.000. Jalur yang akan dilalui jika dari desa ini adalah hutan konservasi Pinus dan perkebunan warga. jalurnya lebih landai dari pada jalur Wekas. Jangan ragu untuk mencoba lewat jalur ini, jalurnya jelas kok /cektkp



Tidak menunggu waktu lama kami berempat di angkut menggunakan 2 motor bebek menuju jalan raya Magelang-Salatiga. Perjalanan yang luar biasa berbahaya, beban lebih dari 200kg di bawa menggunakan motor bebek dengan kecepatan lebih dari 80km/jam menuruni bukit yang berkelok-kelok. Aku hanya bisa berdoa ketika berpapasan dengan mobil ataupun kecepatana motor sudah ampun-ampunan. Hanya 10 menit kami semua sudah sampai di depan terminal Agribisnis Ngablak, siap untuk menunggu bis menuju Pasar Sapi. Membayar uang ongkos dengan muka datar setelah adegan berbahaya tadi kami berempat menunggu bis ¾ itu datang.





Ada beberapa macam angkutan arah Salatiga dari Pasar Ngablak ini, mini bus, elf dan bis ¾ yang kami gunakan. Elf untuk yang santai, karena sering ngetem; sama dengan elf jika naik mini bus pun kita akan sampai lebih dari 1 jam menuju salatiga; kendaraan yang tercepat adalah bus ¾ Tunas yang kurang dari 45 menit sudah sampai di pertigaan Pasar Sapi. Membayar Rp.5.000 perorang dan kami segera turun, lanjut bis jurusan Solo-Semarang.

Kali ini perjalanan cukup lama dan panas, setelah beberapa hari di gunung yang dingin kini kami kembali berada dalam pengapnya angkutan kota. Hamper 2 jam kami duduk dalam bis ini, dari awalnya panas hingga hujan turun mendinginkan udara dalam bis. Aku tertidur sebentar dan terbangun ketika bis terhambat macet di jalan raya ungaran. Kami berhenti di perempatan Sukun sesuai dengan himbauan Erwin yang hendak membatu kami mencari cara untuk pulang ke Jakarta.





Kami berempat menunggu Erwin di sebuah Warung Tegal deket lampu merah. Setelah makan dan berunding banyak kami memutuskan untuk berpisah disini, Indah dan Iwa pulang dengan kereta menggunakan jalur belakang sedangkan saya dan nuril pulang dengan bis dari terminal Banyumanik. Setelah berpisah aku dan nuril di antar oleh Erwin hingga sampai di agen bis menuju Jakarta. Menunggu sekitar satu jam hingga bis yang kami tunggu datang. Setelah menempati tempat duduk sesuai nomor kursi aku istirahat tidur, masih ada perjalanan berjam-jam dalam bis menyusuri pantura hingga Cirebon nanti. Pukul 12 malam aku turun dari bis di Lampu Merah Arjawinangun dan berpamitan dengan Nuril yang masih harus di bis hingga sampai di bekasi pukul 4 pagi nanti.



Perjalanan yang luar biasa, pengalaman baru membuat setiap perjalanan mempunyai makna tersendiri. Meskipun belum berhasil mencapai ketujuh puncak merbabu tapi aku sudah merasa sangat puas dengan mengambil keputusan yang cukup tepat. Puncak bukanlah segalanya, maknai setiap perjalanan dengan baik, hargai segala keputusan yang telah dibuat dan yang terpenting jangan pernah sesali semua itu. So, terus lanjutkan langkah kita, masih banyak mutiara di lautan dan masih banyak kupu-kupu berterbangan, alam ini sungguh luas dan tak terbatas, tapi keserakahan manusia bisa menghancurkannya dalam sekejap. Salam Lestari.

/bye /bye

PENGELUARAN :
  1. Kereta Kahuripan = Rp.29.000
  2. Angkot Purwosari - Kerten = Rp. 2.000
  3. Bis Solo - Salatiga (Ps. Sapi) = Rp. 10.000
  4. Carter Bis Ps. Sapi - Wekas = Rp. 15.000
  5. Administrasi Pendakian = Rp.4.000
  6. Logistik = Rp.15.000
  7. Ojek Ds Daman - Ps Ngablak = Rp.12.000
  8. Bis Ps. Ngablak - Salatiga = Rp.5.000
  9. Bis Salatiga - Semarang = Rp.8.000
  10. Bis VIP Eksekutif Jakarta = Rp. 140.000 (DARURAT) 



Thanks To :
  1. Syukur Alhamdulillah kepada Allah yang memberikan kehidupan
  2. Nuril yang mau temenin pas sakit dan sehat /please
  3. Erwin yang udah bantu kami
  4. Hasbi yang dengan baik hati membagi Gas dan lainnya
  5. Indah n Iwa yang bisa jadi partner perjalanan seru 
  6. All Teammates 





















5 Comment:

Halimich mengatakan...

:)

Feisal mengatakan...

:D

Laen kali naek bareng atuh.susah nyocokin jadwal nya?ahhahaha

Halimich mengatakan...

:)) ayo dahhh.. pengen sindoro atau sumbing euy :D

tapi tunggu musim ujan reda aja atau waktu kosong

Unknown mengatakan...

ayo ksini lagi bung turun jalur selo

anneille mengatakan...

huhu keren

Posting Komentar

Haloo !

Silakan mengisi Form di bawah ini untuk meninggalkan komentar pada tulisan ini.

 
; Blogger Widgets